Sabtu, 09 Agustus 2014

Singa Allah...


HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB (SINGA ALLAH AZZA WA JALLA)


Salah seorang paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara sesusuan beliau adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib bin Hâsyim bin Abdu Manâf al-Qurasyi al-Hâsyimi Abu Ammârah Radhiyallahu anhu . Mereka berdua disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab [1]. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu adalah saudara sepersusuanku [HR. Muslim] [2]

Dari Atha` bin Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penghulu para syuhada` pada hari kiamat adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib”. [al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 2/130, 3/219] [3]

Sa`d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu mengatakan: “Dahulu Hamzah bin `Abdul Muththalib Radhiyallahu anhu ikut serta dalam perang Uhud; dan di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia mengatakan: “Aku adalah singa Allah Azza wa Jalla ”.[4] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya Hamzah bin `Abdul Muththalib telah ditulis di langit ke tujuh bahwa dia adalah singa Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya”[5]

Kisah-Kisah Keberanian Hamzah Dalam Berperang.
Tatkala Allah Azza wa Jalla mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengutus para pasukan perang ke berbagai wilayah dengan tujuan tertentu. Ketika itu, panji pertama yang dibuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu. Beliau mengutusnya bersama 30 Muhâjirin, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Rombongan dagang itu datang dari Syam, dipimpin oleh Abu Jahal bin Hisyâm dengan 300 orang Quraisy. Sampailah Hamzah dan orang-orang yang bersamanya di Saiful Bahr dari arah al-Ish. Dia bertemu dengan Abu Jahal dan para pengikutnya, dan kemudian kedua kelompok itu memilih berperang dan menghunus pedang-pedang mereka, kecuali Majdi bin Umar al-Juhani yang mempunyai hubungan erat dengan 2 kelompok itu. Ia berjalan di antara dua kelompok itu dan memisahkan mereka, sehingga perang pun tidak terjadi.[6]

Dalam perang Badar al-Kubra, Hamzah adalah pejuang terdepan dalam mubârazah (perang tanding atau duel). Ali Radhiyallahu anhu berkata : “ Utbah bin rabî`ah maju, kemudian diikuti oleh anak laki-laki dan saudaranya. Ia berseru : “Siapa yang akan maju tanding?” kemudian beberapa pemuda Anshâr pun meladeninya. Utbah bertanya : “Siapa kalian?” Mereka pun memberitahukan diri mereka. Lalu Utbah berkata : “Kami tidak ada urusan dengan kalian, yang kami butuhkan hanyalah kaum kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Berdirilah wahai Hamzah, berdirilah wahai Ali, berdirilah wahai Ubadah bin al-Harits.” Kemudian Hamzah mendatangi Utbah, aku (Ali) mendatangi Syaibah, sedangkan Ubadah dan al-Walîd saling memukul 2 pukulan. Setelah kami (Ali dan Hamzah) mengalahkan musuh, lalu kami menuju al-Walîd dan membunuhnya. Kami membawa Ubâdah kembali ke pasukan kaum Muslimin.” Kisah ini menjelaskan bahwa Hamzah bin `Abdul Mutthalib ikut berduel dalam perang Badar.[7]

Kedua kelompok yang berduel itu adalah pasukan Allah Azza wa Jalla dan pasukan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai rabb mereka. [al-Hajj/22:19]

Abu Dzar Radhiyallahu anhu bersumpah bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan orang-orang yang berduel dalam perang Badar, yaitu Hamzah, Ali, Ubaidah bin al-Harits, Utbah bin rabî`ah, Syaibah bin rabî`ah dan al-Wâlid bin Utbah.

Ali Radhiyallahu anhu berkata bahwa ayat di atas turun tentang orang-orang yang berduel pada saat perang Badar.[8]

Kesaksian Sahabat
Abdurrahmân bin `Auf (salah seorang Sahabat yang dijamin masuk surga) memberikan syahâdah (persaksian) bahwa Hamzah lebih baik daripada dirinya. `Abdurrahmân bin Auf juga mengatakan: “Hamzah telah terbunuh, padahal dia adalah orang yang lebih baik dariku, kemudian dunia dilapangkan bagi kami, atau mengatakan kami mendapatkan kesenangan dunia. Sungguh, kami takut kebaikan-kebaikan kami diberikan (di dunia-pent).” Kemudian dia menangis dan meninggalkan makanan itu.” [hlm 186, nukilan dari al-Bukhâri no. 1275] [9]

Kisah Pembunuhan Hamzah Radhiyallahu Anhu
Wahsyi (orang yang telah membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu ) menceritakan, “Dahulu aku adalah budak Jubair bin Muth`im. Pamannya yang bernama Thuaimah bin Adi terbunuh di perang Badar (dibunuh oleh Hamzah Radhiyallahu anhu). Majikanku (Jubair) berkata kepadaku : “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu , maka engkau akan bebas.” Wahsyi berkata : “Aku dahulu adalah ahli tombak, sedikit sekali lemparan tombakku yang tidak mengenai sasaran. Aku keluar bersama beberapa orang. Ketika mereka telah bertemu, akupun mengambil tombakku dan keluar hingga melihat Hamzah Radhiyallahu anhu ada di antara orang banyak. Ia seperti unta yang berwarna keabu-abuan. Ia mengancam orang-orang dengan pedangnya dan tidak pernah melepaskan pedangnya. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya aku telah bersiap-siap (bertarung) dengannya, dan tiba-tiba aku didahului as-Siba` bin `Abdul Uzza al-Khuzai. Tatkala Hamzah Radhiyallahu anhu melihatnya, Hamzah berkata : “Kemarilah wahai anak wanita tukang khitan.” Kemudian dia dipenggal oleh Hamzah Radhiyallahu anhu . Demi Allah Azza wa Jalla, tidak luput sabetan pada kepalanya. Aku tidak melihat sesuatu yang lebih cepat dari jatuhnya kepalanya. Kemudian akupun menggerakkan tombakku, dan ketika telah benar-benar yakin, akupun melemparkannya. Lemparanku tepat mengenai perut bagian bawahnya, hingga tembus ke antara kedua kakinya. Ia pun pergi untuk bangkit, akan tetapi tidak kuat. Kemudian aku menunggunya hingga mati, setelah itu aku berdiri di hadapannya. Aku ambil tombakku dan kemudian kembali ke pasukan dan duduk.

Ketika Rasulullah menakhlukkan Mekah, aku kabur ke Thaif. Ketika utusan Thaif keluar untuk masuk Islam, aku merasa sangat berat. Aku (Wahsyi) berkata : “Aku pergi ke Syam, Yaman, dan negara-negara yang lain. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ketika itu aku sangat takut. Tiba-tiba ada seseorang berkata : “Demi Allah Azza wa Jalla , jika Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membunuh seseorang, orang itu segera masuk ke dalam agamanya (agar selamat).”

Sehingga aku pun keluar menuju Madinah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bertanya, “Apakah engkau Wahsyi” Aku menjawab, “ Ya” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau membunuh Hamzah.” Lalu aku pun menceritakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Celaka engkau, menyingkirlah dariku. Janganlah engkau muncul di hadapan kami.” Ini menunjukkan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya, Hamzah Radhiyallahu anhu . Aku pun menjauh dari beliau hingga beliau meninggal dunia.”

Wahsyi mengatakan, “Tatkala kaum Muslimin keluar menuju Musailamah, aku ikut keluar dengan mereka dengan membawa tombakku yang dahulu aku gunakan untuk membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu . Ketika kedua pasukan bertemu, aku melihat Musailamah yang membawa pedang. Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, tiba-tiba ada seorang Anshâr yang hendak menuju kepadanya dari arah lain. Maka kami siap menuju kepadanya, hingga ketika sudah dekat aku melemparkan tombakku dan tepat mengenainya; sedangkan orang Anshâr itu menyerang dengan pedangnya. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui siapa yang telah membunuhnya. Jika aku telah membunuhnya, sesungguhnya aku telah membunuh orang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku pun juga telah membunuh orang yang paling jahat.”[10]

Ayat Yang Turun Tentang Hamzah Radhiyallahu Anhu
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ


Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki [Ali Imrân/3:169]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah Radhiyallahu anhu dan para Sahabatnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tatkala teman-teman kalian dalam perang Uhud meninggal dunia, Allah Azza wa Jalla menjadikan ruh-ruh mereka di tenggorokan burung hijau yang ada di sungai-sungai surga, mereka makan biji-bijinya dan kembali ke pelita-pelita dari emas yang tergantung di Arsy. Ketika mereka memperoleh kesenangan dalam makan, minum dan tidur, mereka berkata : “ Siapa yang hendak menyusul kami. Kami hidup di surga dengan kenikmatan. Hendaknya mereka jangan meninggalkan jihad dan tidak mundur dalam perang.” Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku lebih tahu tentang mereka daripada kalian”, kemudian berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki””[11]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayangi dan merasa iba kepada Hamzah Radhiyallahu anhu tatkala melihat perbuatan orang-orang kafir kepadanya. Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Pada saat Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan jasad Hamzah Radhiyallahu anhu yang luka parah. Beliau bersabda : “Seandainya saja Shafiyah tidak menemukan jasadnya, pasti dia akan meninggalkannya hingga Allah Azza wa Jalla mengumpulkannya di perut binatang buas atau burung”[12] 




sumber :

Minggu, 03 Agustus 2014

Tiga Malam



Adek persembahkan untukmu duhai abang...


Tiga malam aku mencarimu
Tiga malam hatiku sunyi
Dimanakah engkau sayang
Kuingin lekas kau datang


Tapi kini tak ku temui
Berangkatlah aku sendiri
Di medan bakti ku tlah berjanji
Untuk kita kan jumpa lagi


Kuingin ijinmu sayang
Tuk melepas aku berjuang
Relakan aku oh kasih
Membela Nusa dan Bangsa


Mitsaqon Gholizo


Al-quran Allah menetapkan suatu ikatan suci, yaitu Akad Nikah, agar hubungan antara dua anak manusia itu dapat menyuburkan ketentraman cinta dan kasih sayang. Dengan dua kalimat yang sederhana –ijab dan qabul– terjadilah perubahan besar. Yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih sayang.

Begitu besarnya perubahan ini, sehingga Al Quran menyebut Akad Nikah sebagai Mitsaqon Ghaliza, atau perjanjian yang berat. Dalam Al Quran, kata Mitsaqon Ghaliza hanya disebutkan tiga kali, yaitu

1) Ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi dan Rasul Ulul Azmi [QS. Al-Ahzab: 7], 

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.


2) Ketika Allah SWT mengangkat Bukit Tsur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah [QS. An-Nisa: 154], 

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.


3) Dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan [QS. An-Nisa: 21].

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
 


Dengan perjanjian ini, istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami. Di haji Wada’ Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan peringatan suci,

“Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka (para istri) tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senagi masuk ke rumah kecuali dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan Kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”

“Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”, begitu kata-kata terakhir dari Rasulullah SAW ketika mengingatkan kita tentang kewajiban di balik amanah pernikahan. Ada kesenangan-kesenangan di dalamnya yang boleh dirasakan bersama, tetapi ada yang harus dijaga dan diperjuangkan karena amanah ini.

Untuk mendapatkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul.

Wallahua'lam



sumber :

Kamis, 17 Juli 2014

Adab Pengantin Baru...



Islam mengatur persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan suami isteri bukan saja dalam tataran umum, akan tetapi sampai persoalan-persoalan yang dipandang sangat pribadi. Hal ini tiada lain demi kebahagiaan suami isteri tersebut dalam kehidupan rumah tangga kelak. Terlebih, masalah malam pengantin atau hubungan badan ini, termasuk yang sangat penting, mengingat dengan jima' akan menghasilkan keturunan. Dan keturunan ini tentunya sebagai simpanan dan tabungan abadi kelak manakala keturunan tersebut shaleh dan shalehah. Di antara upaya untuk menghasilkan keturunan yang shaleh itulah, salah satunya dengan jalan melakukan hubungan badan secara benar berdasarkan tuntunan ajaran Islam. Untuk itulah, pembahasan kali ini kita akan melihat bagaimana dan seperti apa hubungan badan plus adab malam pengantin menurut tuntunan Islam itu. Apabila kedua mempelai laki-laki dan perempuan sudah masuk ke dalam kamar, maka sebelum melakukan hubungan badan, mempelai laki-laki disunnahkan terlebih dahulu untuk melakukan hal-hal berikut ini:

1. Ucapkanlah salam terlebih dahulu kepada mempelai wanita.

Sebelum melakukan hubungan badan, disunnahkan seorang mempelai laki-laki untuk mengucapkan salam kepada mempelai wanita. Hal ini untuk menenangkan hati dan pikiran si mempelai wanita sekaligus menghilangkan rasa was-was dan segan. Di samping untuk lebih mengakrabkan dan lebih mesra. Hal ini didasarkan kepada hadits yang artinya : "Ummu Salamah berkata, bahwasannya ketika Rasulullah saw menikahinya dan beliau hendak menggaulinya, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu" (HR. Abu Shaikh dengan sanad Hasan).

2. Berikanlah sesuatu makanan, minuman atau apa saja demi lebih mengakrabkan dan lebih menghangatkan suasana.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits.
Artinya: "Asma binti Yazid berkata: "Saya adalah orang yang merias Siti Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah saw. Begitu selesai meriasnya, saya kemudian menemui Rasulullah dan mempersilahkan beliau untuk melihat mempelai wanita (Siti Aisyah) lengkap dengan dandanannya. Rasulullah kemudian menemuinya, lalu duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian Rasulullah saw mengambil cangkir besar berisi susu. Beliau meminumnya sedikit kemudian memberikannya kepada Siti Aisyah. Siti AIsyah kemudian tertunduk tanda malu. Asma kemudian berkata: "Aku lalu mendekatinya sambil berkata kepadanya: "Ambilah wahai Aisyah, ini langsung dari tangan Rasulullah saw". Siti Aisyah kemudian mengambilnya dan meminumnya sedikit" (HR. Ahmad).

3. Letakkan tangan anda di kepala bagian depan (kening, jidat) isteri anda, kecuplah sedikit kemudian doakanlah kebaikan sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang pembantu (hamba), peganglah terlebih dahulu keningnya, sebutlah nama Allah dan berdoalah untuk keberkahan serata ucapkanlah doa berikut ini: "Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltuha 'alaih, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma fiha wa syarri ma jabaltuha 'alaih (Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada mu kebaikannya (isteri) dan kebaikan apa yang saya ambil dari padanya, serta aku berlindung kepadaMu dari kejahatannya dan kejahatan apa yang ada di dalamnya juga dari kejahatan dari apa yang aku ambil daripadanya" (HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah).

4. Shalat sunnahlah dua rakaat bersama mempelai wanita.

Shalat sunnat malam pengantin ini sunnah hukumnya. Hal ini didasarkan kepada riwayat berikut ini:


Artinya: Dari Abu Said mantan budak Abu Usaid berkata: "Saya menikah ketika masih menjadi hamba sahaya, lalu saya mengundang sekelompok sahabat Rasulullah saw di antaranya ada Ibnu Mas'ud dan Abu Dzar juga Hudzaifah. Abu Said berkata: "Lalu dibacakan iqamat untuk shalat. Abu Dzar kemudian berangkat untuk maju ke depan, para sahabat lainnya kemudian berkata: "Kamu juga ikut". Abu Said berkata: "Apakah harus demikian?" Mereka menjawab: "Ya". Aku lalu maju ke depan sedangkan saya saat itu masih seorang budak belian. Mereka mengajariku dan mereka berkata: "Apabila kamu hendak menggauli isteri kamu (baru pengantin), shalatlah terlebih dahulu dua rakaat, kemudian berdoalah kepada Allah untuk kebaikan apa yang telah kamu gauli, juga berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya dan kejahatan diri kamu juga diri keluargamu" (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).

5. Bersihkan mulut anda terlebih dahulu dan pakailah penyegar nafas atau wewangian untuk mulut anda sebelum anda menggaulinya.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:


Artinya: "Syuraih bin Hani berkata: " Saya pernah bertanya kepada Siti Aisyah, dengan apa Rasulullah saw memulai sebelum beliau menggauli isteri-isterinya?" Siti AIsyah berkata: "Dengan siwak (pembersih mulut dan gigi)" (HR. Muslim).

6. Sebutlah nama Allah dan berdoalah dengan do'a Jima berikut ini sebelum anda menggaulinya.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

Artinya: "Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang membaca doa berikut ini sebelum menggauli isterinya: "bismillah allahumma jannibnis syaithan wa jannibis syaithan ma razaqtana" (Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syetan dari saya, dan jauhkanlah ia dari apa yang akan Eukau rizkikan kepada kami (anak, keturunan), kemudian dari hubungan tersebut ditakdirkan menghasilkan seorang anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selamanya" (HR. Bukhari Muslim).

Adab dan etika bersenggama dalam ajaran Islam

1. Disunnahkan mencumbunya terlebih dahulu (pemanasan) sebelum melakukan hubungan badan.

Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak sudah betul-betul siap untuk melakukan hubungan badan sehingga kenikmatan yang akan dirasakannya betul-betul maksimal. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

Artinya: "Jabir bin Abdillah berkata: "Bapak saya baru saja meninggal dan meninggalkan tujuh atau sembilan putri perempuan. Lalu saya menikah dengan seorang janda. Rasulullah saw lalu bertanya kepada saya: "Apakah kamu sudah menikah wahai Jabir?" Saya menjawab: "Ya, sudah ya Rasulullah". Rasulullah saw bersabda kembali: "Apakah kamu menikahi gadis atau janda?" Saya menjawab: "Janda". Rasulullah bersabda kembali: "Mengapa kamu tidak menikahi gadis sehingga kamu dapat bercanda-canda dengannya (bercumbu) dan dia pun dapat mencandai (mencumbui) kamu?" (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain dikatakan:

Artinya: Rasulullah saw kemudian bertanya: "Apakah kamu wahai Jabir menikahi janda atau gadis?" Jabir menjawab: " Janda". Rasulullah saw kemudian bersabda kembali: "Mengapa bukan gadis dan air liurnya?" (HR. Bukhari).

Para ulama mengatakan bahwa yang dengan kata wa lu'abiha di atas dimaksudkan sebagai isyarat untuk menghisap lidah dan mengisap air liur pasangannya. Hal ini tentu dapat dilakukan dalam bercumbu / pemanasan tersebut. Di samping itu, para ulama juga sepakat untuk mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki telah mencapai kepuasan, maka ia tidak boleh—maaf—segera "mencabutnya" sebelum pasangannya tersebut juga betul-betul telah mencapai kenikmatan yang sama.
Bahkan, dalam hadits yang lain, Rasulullah saw melarang ummatnya untuk melakukan hubungan badan tanpa pemanasan dan bercumbu terlebih dahulu:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli isterinya sebagaimana hewan menggauli sesamanya. Hendaklah ia mengadakan pemanasan (perantara) terlebih dahulu dengan jalan ciuman dan kata-kata mesra" (HR. Turmudzi).

Perhatikan juga hadits berikut yang menerangkan bahwa Rasulullah saw pun mencumbunya terlebih dahulu:


Artinya: "Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw suka mencium isteri-isterinya" (HR. Thabrani)

Demikian juga dengan hadits berikut ini:

Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw menghisap lidah Siti Aisyah" (HR. Thabrany).

2. Mempelai laki-laki diperbolehkan menggauli isterinya dengan gaya dan model apa saja selama itu di dalam kemaluan (farj).

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

Artinya: "Jabir berkata: "Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata kepada orang-orang muslim: "Barangsiapa yang menggauli isterinya dari arah belakang (tapi tetap di qubul, kemaluan depan), maka anaknya akan juling". Allah lalu menurunkan ayat berikut ini: "Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki (selama itu di kemaluan depan)", Rasulullah saw kemudian bersabda: "(boleh kamu gauli isteri kamu itu) baik dengan gaya dari arah depan maupun dari arah belakang selama di dalam kemaluan, bukan di pantat" (HR. Bukhari Muslim).

Sebagian penerjemah seringkali salah dalam menerjemahkan kata mudabbarah dalam hadits di atas. Penulis mendapatkan beberapa penerjemah Indonesia ketika menerjemahkan kata mudabbarah tersebut dengan kata: "di dubur, pantat", sehingga orang-orang akan beranggapan bahwa menyetubuhi isteri di pantat itu boleh. Hal ini jelas sangat salah, karena kata mudabbarah dalam bahasa Arab berbeda dengan kata dubur. Mudabbarah lebih bersifat kepada gaya atau cara mendatangi yakni dari arah belakang namun tetap ke dalam kemaluan. Sedangkan kata dubur, lebih bersifat ke tempat, yakni pantat. Oleh karena itu, hadits ini merupakan salah satu dalil bahwamenyetubuhi isteri ke dubur, pantatnya, adalah haram.

3. Seorang suami boleh menyetubuhi seluruh tubuh isterinya kecuali dubur, pantat.

Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kelak seorang laki-laki yang menyetubuhi binatang, atau menyetubuhi isterinya di duburnya" (HR. Imam Nasai dengan sanad Hasan).


Artinya: "Ibnu Mas'ud pernah ditanya seorang laki-laki: "Bukankah anda pernah berkata, silahkan setubuhi isteri saya sekehendak saya, kapan saja dan dengan gaya apa saja sekehendak saya?" Ibnu Masud menjawab: "Ya". Lalu laki-laki itu menatap Ibnu Mas'ud sambil berkata: "Sesungguhnya laki-laki itu mau menggaulinya di duburnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Dubur wanita itu haram buat kalian" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Imam ad-Darimy dengan sanad shahih).

Sehungungan dengan hal ini para ulama mengatakan, bahwa yang dilarang itu adalah menyetubuhinya di dalam dubur (memasukan kemaluan laki-laki ke dalam dubur wanita), sedangkan mencumbui atau menyentu-nyentuhkan ke dubur isterinya, tanpa dimasukkan ke dalamnya, menurut para ulama boleh-boleh saja. Apabila anda ditanya seseorang, bukankah Allah dalam al-Qur'an mengatakan:



Artinya: "Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (al-Baqarah: 223).

Dalam ayat ini Allah menyuruh untuk menggauli isteri kita anna syi'tum, bagaimana saja atau di mana saja yang dikehendaki, berarti kalau kita menginginkan menggauli, maksudnya, maaf, memasukkan ke pantatnya, boleh-boleh saja, karena termasuk dalam keumuman ayat di atas?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita lihat dari sisi Ushul Fiqh. Kata anna, dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan kata al-musykil yang artinya satu kata yang maknanya tidak dapat diketahui dengan mudah kecuali dibantu dengan keterangan lain atau dengan pengkajian yang mendalam. Kata anna, dapat berarti "dari mana" (min aina), sebagaimana firman Allah berikut ini:


Artinya: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" (QS. Ali Imran: 37)

Dalam ayat ini, kata anna berarti "dari mana". Apabila kata anna dalam surat al-Baqarah di atas diartikan dengan "dari mana", maka pemahaman bahwa menggauli isteri dari duburnya sahsah saja. Hanya saja, apa keterangannya sehingga kata anna dalam ayat 223 surat al-Baqarah di atas diartikan dengan "dari mana"? Kini perhatikan makna lain dari kata anna. Dalam ayat berikut, anna juga berarti "bagaimana" (kaifa). Perhatikan ayat di bawah ini:


Artinya: "Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak" (QS. Ali Imran: 40).

Apabila makna anna dalam surat al-Baqarah di atas berarti bagaimana, maka harus dipahami bahwa kita boleh menggauli isteri kita bagaimana saja cara dan gayanya selama di dalam farj (vagina). Persoalannya kini, makna mana yang harus dipakai dalam mengartikan kata anna dalam suat al-Baqarah ayat 223 di atas? Untuk melihat makna mana yang harus dipakai, tentu harus melihat kepada keterangan lain terutama hadits Nabi. Ternyata Rasulullah saw di antaranya pernah bersabda:


Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kelak seorang laki-laki yang menyetubuhi binatang, atau menyetubuhi isterinya di duburnya" (HR. Imam Nasai dengan sanad Hasan).

Artinya: "Ibnu Mas'ud pernah ditanya seorang laki-laki: "Bukankah anda pernah berkata, silahkan setubuhi isteri saya sekehendak saya, kapan saja dan dengan gaya apa saja sekehendak saya?" Ibnu Masud menjawab: "Ya". Lalu laki-laki itu menatap Ibnu Mas'ud sambil berkata: "Sesungguhnya laki-laki itu mau menggaulinya di duburnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Dubur wanita itu haram buat kalian" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Imam ad-Darimy dengan sanad shahih).

Keterangan inilah yang kemudian menjadi penjelas, bahwa kata anna dalam surat al- Baqarah tersebut harus diartikan dengan "bagaimana" (kaifa), bukan "dari mana" (min aina). Karena kalau diartikan "dari mana", tentu dibolehkan menggauli isteri di duburnya, sementara dalam hadits di atas jelas sangat dilarang. Kini, makna anna dalam surat al-Baqarah harus diartikan dengan "bagaimana" sehingga maknanya seorang suami dibolehkan menggauli isterinya dengan gaya dan model apa saja, selama di dalam vaginanya, bukan di dalam duburnya.

4. Tidak boleh menyetubuhi isterinya yang sedang haidh.

Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah berikut ini:

Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri" (QS. Al-Baqarah: 222).

Menurut ahli kesehatan, darah haidh itu apabila disemburkan atau disiramkan ke tanaman, maka tidak berapa lama setelah itu, tanaman tersebut akan mati. Hal ini karena sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an di atas bahwa ia adalah darah penyakit. Apabila ke tanaman saja membuatnya mati, apalagi kalau mengenai kemaluan laki-laki. Lalu, bagaimana dan apa yang harus dilakukan seandainya suami hendak melakukan hubungan badan sementara si isterinya sedang haid?
Rasulullah saw dalam hal ini menerangkan silahkan melakukan apa saja, bercumbu apa saja dan bagaimana saja selama tidak melakukan hubungan badan. Perhatikan hadits berikut ini dimana ketika ditanyakan kepada Rasulullah saw, apa yang harus dilakukan ketika si isteri sedang haid, Rasulullah saw menjawab:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Lakukan apa saja selain berhubungan badan" (HR. Muslim).

Artinya: Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami isteri-isterinya untuk memakai kain (sarungan), manakala kami sedang haid. Lalu beliau mencumbui kami" (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits lain:

Artinya: "Rasulullah saw apabila beliau menghendaki sesuatu dari isteri-isterinya yang sedang haid, beliau meletakkan kain di atas kemaluan isteri-isterinya tersebut, lalu melakukan apa saja yang beliau kehendaki" (HR. Baihaki).

5. Apabila si suami orang yang sangat kuat dalam berhubungan badan sehingga ia ingin mengulangi hubungan badannya yang kedua, ketiga atau seterusnya, maka disunnahkan untuk berwudhu terlebih dahulu.


Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang menggauli isterinya kemudian ia hendak menambahnya untuk yang kedua kali, maka berwudhulah terlebih dahulu" (HR. Muslim).

6. Seorang isteri tidak boleh menolak apabila suaminya meminta untuk berhubungan badan.

Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:


Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk melakukan hubungan badan, lalu isterinya itu menolaknya, maka ia akan dilaknat oleh para malaikat sehingga waktu pagi tiba" (HR. Bukhari Muslim).

7. Apabila seorang suami merasa tertarik oleh wanita lain, maka segeralah gauli isterinya, karena hal itu akan menghilangkan pikiran kotornya terhadap wanita tersebut.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya wanita itu baik ketika menghadap ataupun membelakangi dalam bentuk syaithan (menggoda). Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari wanita, maka segeralah datangi keluarganya, karena dengan demikian dapat menolak apa yang sedang bergejolak di dalam dirinya" (HR. Muslim).

8. Masing-masing suami atau isteri tidak boleh menceritakan rahasia-rahasia ketika berhubungan badan apabila dinilai tidak ada maslahahnya, tidak ada manfaatnya.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:


Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sejahat-jahat manusia di sisi Allah kelak pada hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli isterinya atau isteri yang menggauli suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia-rahasia hubungan badannya itu" (HR. Muslim).

Namun, apabila dinilai ada manfaat dan ada kemaslahatan misalnya ketika hendak
menerangkan seputar itu, maka tidak mengapa sedikit menerangkannya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh isteri-isteri Rasulullah saw. Namun, apabila yang diceritakan itu adalah aib, atau kelemahan suaminya atau tidak ada manfaat sedikitpun, maka haram hukumnya.

9. Perhatikan kepuasan dan kenikmatan isteri / tidak boleh egois.

Dalam ajaran Islam juga diatur bahwasannya seorang suami tidak boleh egois, asal enak dan nikmat sendiri ketika berhubungan badan. Si suami juga harus memperhatikan apakah si isteri sudah mencapai kenikmatan yang maksimal ketika berhubungan badan atau tidak. Apabila si suami, maaf, hendak orgasme dan mencapai kenikmatan puncak, sementara si isteri belum, maka Rasulullah saw mengajarkan agar si suami bersabar dan menahan orgasmenya sampai si isteri betul-betul merasakan kenikmatan yang sama. Dalil larangan egoisme suami dalam "bercinta" ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

Artinya: "Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang suami menggauli isterinya, maka jujurlah kepadanya (maksudnya, mungkin terus teranglah). Apabila si suami akan segera mencapai kenikmatan (orgasme) sementara si isterinya belum akan orgasme, maka si suami tidak boleh menyegerakan orgasmenya (maksudnya tahanlah sebentar), sampai si isteri betul-betul merasakan kenikmatannya (orgasme)" (HR. Abu Ya'la).

10. Suami diperbolehkan menggauli isterinya yang sedang menyusui (al-ghilah).

Dalam istilah fiqih, wanita yang sedang menyusui bayinya baik bayi tersebut sudah lahir maupun masih di dalam kandungan, disebut dengan al-ghilah. Apabila isteri sedang hamil besar atau sedang menyusui bayinya yang masih kecil, kemudian si suami sangat ingin menggauli isterinya tersebut, maka hal itu boleh-boleh saja. Hal ini didasarkan kepada keterangan berikut ini:


Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: ((Sungguh saya ingin sekali melarang suami menggauli isterinya yang sedang menyusui. Hanya saja, saya teringat bahwa orang-orang Rum dan Persia melakukan hal itu juga dan ternyata tidak menyebabkan madarat kepada anak-anaknya" (HR. Muslim).

11. Makruh melakukan 'Azl (mengeluarkan air mani di luar vagina).

'Azl adalah seorang suami mengeluarkan air maninya tidak di dalam kemaluan isteri akan tetapi di luarnya. 'Azl biasanya dilakukan untuk menghindari agar si isteri tidak hamil. Hal ini jelas dibenci dalam ajaran Islam, karena dinilai sebagai upaya pembunuhan kecil; air mani yang boleh jadi akan menjadi seorang anak, tapi karena ditumpahkan di luar vagina, akhirnya tidak membuahkan anak. Dalam ajaran islam, seorang suami atau isteri tidak boleh mencegah terjadinya kehamilan, semata-mata karena takut tidak dapat memberikan makan, karena Allah yang akan memberikan makannya. Oleh karena itu, sebaiknya praktek 'azl ini dihindari baik oleh suami maupun isteri. Apabila hendak mengurangi terjadinya kehamilan, maka sebaiknya dilakukan upaya alami berupa KB Kalender. Di mana si suami hanya menggauli isterinya ketika tidak masa subur yakni masamasa seminggu setelah wanita haid (masa subur bagi wanita adalah seminggu setelah haid). Ini tentu lebih aman dan lebih halal dari pada praktek 'azl di atas. Dalil makruhnya praktek 'azl ini adalah hadits berikut ini:


Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang 'azl, beliau menjawab: "Sesungguhnya 'azl itu adalah pembunuhan tersembunyi"Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya" (QS. At.Takwir: 8)" (HR. Muslim).

Hadits di atas jelas sangat melarang praktek 'azl. Akan tetapi mengapa hukumnya hanya makruh (dibenci saja dan kalau pun dilakukan praktek 'azl ini tidak mengapa) dan bukan haram? Karena terdapat hadits-hadits lain yang membolehkan praktek 'azl ini. Oleh karena terdapat hadits lain yang membolehkan praktek 'azl ini, maka hokum 'azl menjadi makruh saja bukan haram. Hadits yang membolehkan dimaksud adalah sebagai berikut:

Artinya: Dari Jabir, bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw: "Sesungguhnya saya mempunyai seorang budak perempuan, dan saya biasa melakukan 'azl kepadanya". Rasulullah saw menjawab: "Sesungguhnya hal itu tidak akan menghalangi sesuatu apapun yang telah dikehendaki oleh Allah (maksudnya, dengan azl tidak akan menyebabkan tidak punya anak, karena kalau Allah sudah menentukan dia harus mempunyai anak dengan 'azl itu, tentu akan mempunyai anak juga)" (HR. Muslim).


Artinya: Dalam riwayat lain dikatakan: "Lakukanlah 'azl sekehendak kamu, karena ia tetap akan menyebabkan datangnya apa yang telah ditakdirkan oleh Allah"

Artinya: Jabir berkata: "Kami biasa melakukan 'azl pada masa Rasulullah saw, sementara al-Qur'an tetap turun (dan tidak melarang kami satu ayat pun)" (HR. Bukhari Muslim).

Bolehkan melihat aurat isteri atau suami dan menyentuh / memegangnya?

Persoalan melihat aurat isteri atau suami terutama aurat besar (farj atau dzakar, kemaluan perempuan dan laki-laki) masih menjadi bahan perdebatan di antara para ulama. Hal ini terjadi karena terdapat banyak hadits antara yang membolehkan dan yang melarang. Untuk lebih jelas mengupas masalah ini, marilah kita bahas dimulai dengan dalil-dalil yang melarang melihat kemaluan pasangannya.


Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Saya tidak pernah melihat sekalipun aurat Rasulullah saw" (HR. Thabrany).

Hadits ini dinilai oleh Ibn Hajr al-Asqalany sebagai hadits Dhaif (lemah), karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Halaby, bahwasannya ia seorang pembohong. Demikian juga dengan rawi-rawi lainnya seperti Abu Shalih Bazim dan Muhammad bin al-Qasim al- Asady bahwa keduanya tukang bohong.


Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang laki-laki menggauli isterinya, maka janganlah melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan buta (keturunannya)".

Hadits ini adalah hadits Maudhu' (hadits dibuat-buat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Jauzi dan Abu Hatim ar-Razi. Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan melihat kemaluan pasangan adalah:

Artinya: "Dari Utsman bin Madh'un ketika mengadu kepada Rasulullah saw mengenai rasa malunya ketika melihat aurat isterinya, Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana tidak, bukankah Allah telah menjadikan isterimu itu sebagai pakaian dan kamu sebagai pakaiannya juga?" Utsman menjawab: "Saya justru malu dengan hal itu". Rasulullah saw menjawab: "Saya juga melakukannya dan mereka isteri-isteri saya pun melakukannya juga".


Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya dengan Rasulullah saw mandi bersama dalam satu bejana. Beliau lalu mencandaiku sehingga saya berkata kepadanya: "Lepaskan aku, lepaskan aku", dan keduanya dalam keadaan junub" (HR. Bukhari Muslim).

Hadits inilah yang dijadikan hujjah oleh sementara ulama mengenai bolehnya suami atau isteri melihat aurat besar pasangannya. Sulaiman bin Musa pernah ditanya tentang hokum seorang suami melihat aurat pasangannya. Ia menjawab: "Saya bertanya kepada Atha dan Atha bertanya kepada Siti Aisyah, dan Siti Aisyah menyebutkan hadits ini (artinya boleh). Bagaimana dengan hadits yang mengatakan bahwa seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat lakilaki lainnya demikian juga dengan wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya? Hal ini, hemat penulis, dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hal itu tidak termasuk untuk suami isteri. Sedangkan untuk suami isteri diperbolehkan berdasarkan hadits-hadits di atas. Mengakhiri pembahasan seputar ini, penulis akan ketengahkan pendapat Ibn Urwah al-Hanbali dalam bukunya al-Kawakib ad-Darary sebagaimana dikutip oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany berikut ini:

Artinya: "Bagi masing-masing suami isteri dibolehkan melihat seluruh badan pasangannya, termasuk dibolehkan juga memegang dan menyentuhnya termasuk kemaluannya. Karena kemaluan ini dihalalkan untuk digauli, maka tentu dilihat atau dipegang jauh lebih dibolehkan sebagaimana dibolehkannya melihat dan menyentuh anggota badan lainnya. Ini juga merupakan pendapatnya Imam Malik dan yang lainnya".

Penulis juga sependapat untuk mengatakan bahwa suami isteri di samping boleh melihat kemaluan dan aurat pasangannya, juga dibolehkan untuk menyentuh atau memegangnya selama hal itu diperlukan atau dapat menambah kenikmatan dalam berhubungan badan.

Bolehkah berhubungan badan sambil telanjang bulat?

Persoalan kedua yang tidak kalah pentingnya dan sering kali menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat adalah, bolehkah suami isteri ketika berhubungan badan telanjang bulat, tanpa busana? Dalam hal ini, juga terjadi silang pendapat, antara yang membolehkan dengan yang tidak. Untuk lebih memperjelas sebab persoalan, berikut ini penulis sodorkan di antara hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok yang mentidakbolehkan suami isteri berhubungan badan dengan telanjang bulat.

Artinya: Utbah bin Abd as-Silmi berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian menggauli isterinya, maka hendaklah memakai penghalang, dan janganlah ia telanjang bulat sebagaimana dua himar yang sedang berhubungan badan" (HR. Ibn Majah).

Hanya saja, hadits ini Dhaif dan karenanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, sebagaimana yang diutarakan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albany. Menurutnya, dalam hadits tersebut ada seorang rawi yang bernama al-Ahwash bin Hakim dan dia itu orangnya dhaif, lemah. Demikian juga dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama al-Walid bin al-Qasim al-Hamdany yang dilemahkan oleh Ibn Mu'in dan yang lainnya. Oleh karena itu, hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Ustadz Sayyid Sabiq dalam hal ini juga berpendapat bahwa seorang suami isteri ketika melakukan hubungan badan dilarang telanjang bulat. Di antara hadis yang dikemukakannya selain hadits di atas, juga hadits berikut ini:


Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw tidak pernah melihat (kemaluan)saya, demikian juga saya tidak pernah melihat kemaluannya" (HR. Ibn Majah).

Hanya saja, lagi-lagi hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Bushairy. Karena hadits tersebut dhaif, maka tidak dapat dijadikan dalil. Penulis juga melihat, dalil-dalil yang mengatakan tidak bolehnya suami isteri berhubungan badan dengan telanjang, adalah dhaif dan tidak dapat dijadikan dalil. Kini, beralih kepada kelompok yang mengatakan bahwa suami isteri boleh mengadakan hubungan badan dengan kondisi telanjang bulat.


Artinya: "Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (al-Baqarah: 223).

Ayat ini secara tegas mengatakan bahwa suami boleh menggauli isterinya dengan cara dan gaya bagaimana saja selama di dalam farjinya. Tentu untuk dapat melakukan hal demikian, umumnya dibutuhkan kondisi tidak berpakaian sama sekali. Karena itu, telanjang bulat dalam berhubungan badan dibolehkan karena termasuk keumuman dari ayat di atas. Dalil lain yang dikemukakan kelompok ini adalah, hadits dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia seringkali mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bijana. Hal ini, menurut kelompok ini, lebih tegas mengatakan bahwa bertelanjang bulat bagi suami isteri sangat dibolehkan. Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk memahami, bahwa kelompok yang melarang suami isteri telanjang bulat ketika melakukan hubungan badan, hanya sebatas muru'ah saja. Artinya, hanya etika dan lebih bagusnya, bukan sesuatu yang haram. Jadi mereka hendak mengatakan, kalau memungkinkan, sebaiknya tidak telanjang bulat sama sekali. Tapi kalau tidak, ya silahkan.
Untuk itu, penulis cenderung untuk mengatakan, bahwa seorang suami isteri boleh-boleh saja telanjang bulat ketika berhubungan badan karena hal ini jelas sudah halal bagi mereka, apabila hal demikian dipandang perlu. Namun demikian, ketika keduanya melakukan hubungan badan dengan telanjang bulat, sebaiknya ditutup dengan kain atau selimut. Hal ini agar lebih menjaga boleh jadi "kenikmatan" dari berhubungan badan, juga dari muru'ah, atau etikanya. Wallahu 'alam.



Sumber :
https://id-id.facebook.com/notes/panduan-pernikahan-dalam-islam

Senin, 14 Juli 2014

Belajar dari Dua Umar...



Umar bin Abdul Aziz membersihkan kedua tangannya. Ia berdiri di depan makam Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat almarhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara riuh, "Ada apa?" tanya Khalifah ke-8 Bani Umayyah itu heran.

"Ini kendaraan Anda, wahai Amirul Mukminin," ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kendaraan mewah yang khusus disiapkan untuk sang khalifah.

Dengan suara gemetar dan terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur, Umar berkata, "Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah kendaran ini. Semoga Allah memberkahi kalian." Lalu ia berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama ini.
Baru saja ia duduk di atas punggung hewan itu, serombongan pengawal datang berbaris di belakangnya. Di tangan masing-masingn tergenggam tombak tajam. Mereka siap menjaga sang khalifah dari bahaya. 

Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, "Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa."

Selanjutnya, Umar berjalan bersama orang-orang menuju masjid. Dari segala penjuru orang-orangpun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan bershalawat pada Nabi dan para sahabatnhya, ia berpidato, "Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini(khilafah), dimana aku tanpa dimintai persetujuan terlebih dahulu, memintanya atau bermusyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai."

Mendengar ucapannya itu, orang-orangpun berkata dengan satu suara, "Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah dari Allah."

Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara' (menjauhi syubhat). Misalnya kisah tentang memadamkan lampu minyak ketika menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. Ia tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga. 

Kita bandingkan dengan sikap pemimpin saat ini. Sulit membedakan mana harta pribadi dan mana harta rakyat. Berapa banyak para pejabat yang tetap menggunakan fasilitas negara saat kampanye untuk kepentingan sendiri.

Begitu pula setelah mereka berkuasa. Bahkan mereka yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat menjadi jauh. Akibatnya, mereka sendiri merasa tidak aman. Kemana pun pergi selalu dijaga ketat oleh para pengawal.

Kenyataan ini sangat bertolak belakang jika kita tengok jauh lagi ke belakang. Pada akhir abad 17 Hijriyah, misalnya. Saat itu kaum Muslimin sebenarnya sedang menikmati kemenangan pasukan mereka di Irak dan Syam. Namun di tengah kegembiraan itu, mereka dikejutkan oleh datangnya musim kemarau berkepanjangan. Selama sembilan bulan hujan tak turun. Bumi gersang dan penuh debu. Hewan dan tanaman seakan enggan hidup.

Kondisi Madinah tak terlalu buruk. Di bawah pemerintahan Umar bin Khaththab, khalifah kedua setelah Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam wafat, penduduk Madinah dibiasakan menyimpan makanan. Akibatnya dari berbagai daerah masyarakat datang berbondong-bondong, mengungsi ke kota nabi itu. Selama beberapa saat Madinah bisa bertahan, namun lama kelamaan penduduknya makin tertekan. Mereka mulai kekurangan bahan makanan. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Kaththab kala itu??

Ketika kelaparan mencapai puncaknya, Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badui sepertinya benar-benar menikmati makanan itu. "Agaknya, Anda tidak pernah mengenyam lemak?" tanya Umar. "Benar," kata Badui itu, "Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang," tambahnya.

Mendengar kata-kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan memakan lemak sampai semua rakyatnya kembali hidup normal. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat ini, 

"Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya," ujar Umar.

Padahal, saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.

Kita mendapat pelajaran sangat berharga oleh dua Umar. Dengan meneladani kehidupan dua khalifah itu, para pemimpin akan merasakan penderitaan rakyat. Perasaan inilah yang akan melipatgandakan perjuangannya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa berjuang kalau ia sendiri tak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Sikap zuhud dan kedekatan dengan rakyat ini akan menenteramkan masyarakat. Kedekatan pada rakyat akan melahirkan kecintaan. Bayangkan dengan diri Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam. Bagaimana rakyat tidak dekat dengannya kalau menjelang ajalpun beliau masih menyebut-nyebut "Ummati, ummati, ummati". Kepedulian Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam pada umatnya nyaris tak terbatas.

Kecintaan inilah yang akan menciptakan rasa aman. Kedekatan dengan rakyat berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan seorang pemimpin. Semakin dekat dirinya dengan rakyat, semakin tinggi juga tingkat rasa aman dirinya. Inilah yang menjelaskan, mengapa kedua Umar -baik Umar bin Abdul Aziz maupun Umar bin Kaththab- tak pernah mau dikawal. Mereka tak memerlukan pengawal karena merasa dirinya aman. Mereka terbiasa keliling di tengah gelapnya malam. Mereka juga biasa tidur-tiduran di tempat umum. Tak ada rasa takut dan khawatir dalam diri mereka.

Penyebabnya : mereka berlaku adil, bersih, dekat dengan rakyat, maka rakyatpun mencintainya. Wallahua'lam.




Cerita ini didedikasikan dalam rangka penantian rakyat Indonesia,
8 hari menuju 22 Juli 2014


Sumber :
Kumpulan Ibroh Majalah Islam Sabili, QalaMas, 2006