Sabtu, 09 Agustus 2014

Singa Allah...


HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB (SINGA ALLAH AZZA WA JALLA)


Salah seorang paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara sesusuan beliau adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib bin Hâsyim bin Abdu Manâf al-Qurasyi al-Hâsyimi Abu Ammârah Radhiyallahu anhu . Mereka berdua disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab [1]. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu adalah saudara sepersusuanku [HR. Muslim] [2]

Dari Atha` bin Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penghulu para syuhada` pada hari kiamat adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib”. [al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 2/130, 3/219] [3]

Sa`d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu mengatakan: “Dahulu Hamzah bin `Abdul Muththalib Radhiyallahu anhu ikut serta dalam perang Uhud; dan di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia mengatakan: “Aku adalah singa Allah Azza wa Jalla ”.[4] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya Hamzah bin `Abdul Muththalib telah ditulis di langit ke tujuh bahwa dia adalah singa Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya”[5]

Kisah-Kisah Keberanian Hamzah Dalam Berperang.
Tatkala Allah Azza wa Jalla mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengutus para pasukan perang ke berbagai wilayah dengan tujuan tertentu. Ketika itu, panji pertama yang dibuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu. Beliau mengutusnya bersama 30 Muhâjirin, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Rombongan dagang itu datang dari Syam, dipimpin oleh Abu Jahal bin Hisyâm dengan 300 orang Quraisy. Sampailah Hamzah dan orang-orang yang bersamanya di Saiful Bahr dari arah al-Ish. Dia bertemu dengan Abu Jahal dan para pengikutnya, dan kemudian kedua kelompok itu memilih berperang dan menghunus pedang-pedang mereka, kecuali Majdi bin Umar al-Juhani yang mempunyai hubungan erat dengan 2 kelompok itu. Ia berjalan di antara dua kelompok itu dan memisahkan mereka, sehingga perang pun tidak terjadi.[6]

Dalam perang Badar al-Kubra, Hamzah adalah pejuang terdepan dalam mubârazah (perang tanding atau duel). Ali Radhiyallahu anhu berkata : “ Utbah bin rabî`ah maju, kemudian diikuti oleh anak laki-laki dan saudaranya. Ia berseru : “Siapa yang akan maju tanding?” kemudian beberapa pemuda Anshâr pun meladeninya. Utbah bertanya : “Siapa kalian?” Mereka pun memberitahukan diri mereka. Lalu Utbah berkata : “Kami tidak ada urusan dengan kalian, yang kami butuhkan hanyalah kaum kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Berdirilah wahai Hamzah, berdirilah wahai Ali, berdirilah wahai Ubadah bin al-Harits.” Kemudian Hamzah mendatangi Utbah, aku (Ali) mendatangi Syaibah, sedangkan Ubadah dan al-Walîd saling memukul 2 pukulan. Setelah kami (Ali dan Hamzah) mengalahkan musuh, lalu kami menuju al-Walîd dan membunuhnya. Kami membawa Ubâdah kembali ke pasukan kaum Muslimin.” Kisah ini menjelaskan bahwa Hamzah bin `Abdul Mutthalib ikut berduel dalam perang Badar.[7]

Kedua kelompok yang berduel itu adalah pasukan Allah Azza wa Jalla dan pasukan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai rabb mereka. [al-Hajj/22:19]

Abu Dzar Radhiyallahu anhu bersumpah bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan orang-orang yang berduel dalam perang Badar, yaitu Hamzah, Ali, Ubaidah bin al-Harits, Utbah bin rabî`ah, Syaibah bin rabî`ah dan al-Wâlid bin Utbah.

Ali Radhiyallahu anhu berkata bahwa ayat di atas turun tentang orang-orang yang berduel pada saat perang Badar.[8]

Kesaksian Sahabat
Abdurrahmân bin `Auf (salah seorang Sahabat yang dijamin masuk surga) memberikan syahâdah (persaksian) bahwa Hamzah lebih baik daripada dirinya. `Abdurrahmân bin Auf juga mengatakan: “Hamzah telah terbunuh, padahal dia adalah orang yang lebih baik dariku, kemudian dunia dilapangkan bagi kami, atau mengatakan kami mendapatkan kesenangan dunia. Sungguh, kami takut kebaikan-kebaikan kami diberikan (di dunia-pent).” Kemudian dia menangis dan meninggalkan makanan itu.” [hlm 186, nukilan dari al-Bukhâri no. 1275] [9]

Kisah Pembunuhan Hamzah Radhiyallahu Anhu
Wahsyi (orang yang telah membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu ) menceritakan, “Dahulu aku adalah budak Jubair bin Muth`im. Pamannya yang bernama Thuaimah bin Adi terbunuh di perang Badar (dibunuh oleh Hamzah Radhiyallahu anhu). Majikanku (Jubair) berkata kepadaku : “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu , maka engkau akan bebas.” Wahsyi berkata : “Aku dahulu adalah ahli tombak, sedikit sekali lemparan tombakku yang tidak mengenai sasaran. Aku keluar bersama beberapa orang. Ketika mereka telah bertemu, akupun mengambil tombakku dan keluar hingga melihat Hamzah Radhiyallahu anhu ada di antara orang banyak. Ia seperti unta yang berwarna keabu-abuan. Ia mengancam orang-orang dengan pedangnya dan tidak pernah melepaskan pedangnya. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya aku telah bersiap-siap (bertarung) dengannya, dan tiba-tiba aku didahului as-Siba` bin `Abdul Uzza al-Khuzai. Tatkala Hamzah Radhiyallahu anhu melihatnya, Hamzah berkata : “Kemarilah wahai anak wanita tukang khitan.” Kemudian dia dipenggal oleh Hamzah Radhiyallahu anhu . Demi Allah Azza wa Jalla, tidak luput sabetan pada kepalanya. Aku tidak melihat sesuatu yang lebih cepat dari jatuhnya kepalanya. Kemudian akupun menggerakkan tombakku, dan ketika telah benar-benar yakin, akupun melemparkannya. Lemparanku tepat mengenai perut bagian bawahnya, hingga tembus ke antara kedua kakinya. Ia pun pergi untuk bangkit, akan tetapi tidak kuat. Kemudian aku menunggunya hingga mati, setelah itu aku berdiri di hadapannya. Aku ambil tombakku dan kemudian kembali ke pasukan dan duduk.

Ketika Rasulullah menakhlukkan Mekah, aku kabur ke Thaif. Ketika utusan Thaif keluar untuk masuk Islam, aku merasa sangat berat. Aku (Wahsyi) berkata : “Aku pergi ke Syam, Yaman, dan negara-negara yang lain. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ketika itu aku sangat takut. Tiba-tiba ada seseorang berkata : “Demi Allah Azza wa Jalla , jika Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membunuh seseorang, orang itu segera masuk ke dalam agamanya (agar selamat).”

Sehingga aku pun keluar menuju Madinah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bertanya, “Apakah engkau Wahsyi” Aku menjawab, “ Ya” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau membunuh Hamzah.” Lalu aku pun menceritakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Celaka engkau, menyingkirlah dariku. Janganlah engkau muncul di hadapan kami.” Ini menunjukkan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya, Hamzah Radhiyallahu anhu . Aku pun menjauh dari beliau hingga beliau meninggal dunia.”

Wahsyi mengatakan, “Tatkala kaum Muslimin keluar menuju Musailamah, aku ikut keluar dengan mereka dengan membawa tombakku yang dahulu aku gunakan untuk membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu . Ketika kedua pasukan bertemu, aku melihat Musailamah yang membawa pedang. Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, tiba-tiba ada seorang Anshâr yang hendak menuju kepadanya dari arah lain. Maka kami siap menuju kepadanya, hingga ketika sudah dekat aku melemparkan tombakku dan tepat mengenainya; sedangkan orang Anshâr itu menyerang dengan pedangnya. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui siapa yang telah membunuhnya. Jika aku telah membunuhnya, sesungguhnya aku telah membunuh orang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku pun juga telah membunuh orang yang paling jahat.”[10]

Ayat Yang Turun Tentang Hamzah Radhiyallahu Anhu
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ


Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki [Ali Imrân/3:169]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah Radhiyallahu anhu dan para Sahabatnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tatkala teman-teman kalian dalam perang Uhud meninggal dunia, Allah Azza wa Jalla menjadikan ruh-ruh mereka di tenggorokan burung hijau yang ada di sungai-sungai surga, mereka makan biji-bijinya dan kembali ke pelita-pelita dari emas yang tergantung di Arsy. Ketika mereka memperoleh kesenangan dalam makan, minum dan tidur, mereka berkata : “ Siapa yang hendak menyusul kami. Kami hidup di surga dengan kenikmatan. Hendaknya mereka jangan meninggalkan jihad dan tidak mundur dalam perang.” Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku lebih tahu tentang mereka daripada kalian”, kemudian berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki””[11]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayangi dan merasa iba kepada Hamzah Radhiyallahu anhu tatkala melihat perbuatan orang-orang kafir kepadanya. Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Pada saat Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan jasad Hamzah Radhiyallahu anhu yang luka parah. Beliau bersabda : “Seandainya saja Shafiyah tidak menemukan jasadnya, pasti dia akan meninggalkannya hingga Allah Azza wa Jalla mengumpulkannya di perut binatang buas atau burung”[12] 




sumber :

Minggu, 03 Agustus 2014

Tiga Malam



Adek persembahkan untukmu duhai abang...


Tiga malam aku mencarimu
Tiga malam hatiku sunyi
Dimanakah engkau sayang
Kuingin lekas kau datang


Tapi kini tak ku temui
Berangkatlah aku sendiri
Di medan bakti ku tlah berjanji
Untuk kita kan jumpa lagi


Kuingin ijinmu sayang
Tuk melepas aku berjuang
Relakan aku oh kasih
Membela Nusa dan Bangsa


Mitsaqon Gholizo


Al-quran Allah menetapkan suatu ikatan suci, yaitu Akad Nikah, agar hubungan antara dua anak manusia itu dapat menyuburkan ketentraman cinta dan kasih sayang. Dengan dua kalimat yang sederhana –ijab dan qabul– terjadilah perubahan besar. Yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih sayang.

Begitu besarnya perubahan ini, sehingga Al Quran menyebut Akad Nikah sebagai Mitsaqon Ghaliza, atau perjanjian yang berat. Dalam Al Quran, kata Mitsaqon Ghaliza hanya disebutkan tiga kali, yaitu

1) Ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi dan Rasul Ulul Azmi [QS. Al-Ahzab: 7], 

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.


2) Ketika Allah SWT mengangkat Bukit Tsur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah [QS. An-Nisa: 154], 

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.


3) Dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan [QS. An-Nisa: 21].

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
 


Dengan perjanjian ini, istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami. Di haji Wada’ Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan peringatan suci,

“Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka (para istri) tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senagi masuk ke rumah kecuali dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan Kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”

“Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”, begitu kata-kata terakhir dari Rasulullah SAW ketika mengingatkan kita tentang kewajiban di balik amanah pernikahan. Ada kesenangan-kesenangan di dalamnya yang boleh dirasakan bersama, tetapi ada yang harus dijaga dan diperjuangkan karena amanah ini.

Untuk mendapatkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul.

Wallahua'lam



sumber :