Islam mengatur persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan hubungan suami isteri bukan saja dalam tataran umum,
akan tetapi sampai persoalan-persoalan yang dipandang sangat pribadi.
Hal ini tiada lain demi kebahagiaan suami isteri tersebut dalam
kehidupan rumah tangga kelak. Terlebih, masalah malam pengantin atau
hubungan badan ini, termasuk yang sangat penting, mengingat dengan jima'
akan menghasilkan keturunan. Dan keturunan ini tentunya sebagai
simpanan dan tabungan abadi kelak manakala keturunan tersebut shaleh dan
shalehah. Di antara upaya untuk menghasilkan keturunan yang shaleh
itulah, salah satunya dengan jalan melakukan hubungan badan secara benar
berdasarkan tuntunan ajaran Islam. Untuk itulah, pembahasan kali ini
kita akan melihat bagaimana dan seperti apa hubungan badan plus adab
malam pengantin menurut tuntunan Islam itu. Apabila kedua mempelai
laki-laki dan perempuan sudah masuk ke dalam kamar, maka sebelum
melakukan hubungan badan, mempelai laki-laki disunnahkan terlebih dahulu
untuk melakukan hal-hal berikut ini:
1. Ucapkanlah salam terlebih dahulu kepada mempelai wanita.
Sebelum melakukan hubungan badan, disunnahkan seorang mempelai laki-laki untuk mengucapkan salam kepada
mempelai wanita. Hal ini untuk menenangkan hati dan pikiran si mempelai
wanita sekaligus menghilangkan rasa was-was dan segan. Di samping untuk
lebih mengakrabkan dan lebih mesra. Hal ini didasarkan kepada hadits yang artinya : "Ummu Salamah berkata, bahwasannya ketika Rasulullah saw menikahinya
dan beliau hendak menggaulinya, beliau mengucapkan salam terlebih
dahulu" (HR. Abu Shaikh dengan sanad Hasan).
2. Berikanlah sesuatu makanan, minuman atau apa saja demi lebih mengakrabkan dan lebih menghangatkan suasana.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits.
Artinya: "Asma binti Yazid berkata: "Saya adalah orang yang merias Siti Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah saw. Begitu selesai meriasnya, saya kemudian menemui Rasulullah dan mempersilahkan beliau untuk melihat mempelai wanita (Siti Aisyah) lengkap dengan dandanannya. Rasulullah kemudian menemuinya, lalu duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian Rasulullah saw mengambil cangkir besar berisi susu. Beliau meminumnya sedikit kemudian memberikannya kepada Siti Aisyah. Siti AIsyah kemudian tertunduk tanda malu. Asma kemudian berkata: "Aku lalu mendekatinya sambil berkata kepadanya: "Ambilah wahai Aisyah, ini langsung dari tangan Rasulullah saw". Siti Aisyah kemudian mengambilnya dan meminumnya sedikit" (HR. Ahmad).
Artinya: "Asma binti Yazid berkata: "Saya adalah orang yang merias Siti Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah saw. Begitu selesai meriasnya, saya kemudian menemui Rasulullah dan mempersilahkan beliau untuk melihat mempelai wanita (Siti Aisyah) lengkap dengan dandanannya. Rasulullah kemudian menemuinya, lalu duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian Rasulullah saw mengambil cangkir besar berisi susu. Beliau meminumnya sedikit kemudian memberikannya kepada Siti Aisyah. Siti AIsyah kemudian tertunduk tanda malu. Asma kemudian berkata: "Aku lalu mendekatinya sambil berkata kepadanya: "Ambilah wahai Aisyah, ini langsung dari tangan Rasulullah saw". Siti Aisyah kemudian mengambilnya dan meminumnya sedikit" (HR. Ahmad).
3. Letakkan tangan anda di kepala bagian depan (kening, jidat) isteri anda, kecuplah sedikit kemudian doakanlah kebaikan sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:
Artinya: Rasulullah saw
bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian menikahi seorang
wanita atau membeli seorang pembantu (hamba), peganglah terlebih dahulu
keningnya, sebutlah nama Allah dan berdoalah untuk keberkahan serata
ucapkanlah doa berikut ini: "Allahumma inni as'aluka min khairiha wa
khairi ma jabaltuha 'alaih, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma
fiha wa syarri ma jabaltuha 'alaih (Ya Allah sesungguhnya aku
memohon kepada mu kebaikannya (isteri) dan kebaikan apa yang saya ambil
dari padanya, serta aku berlindung kepadaMu dari kejahatannya dan
kejahatan apa yang ada di dalamnya juga dari kejahatan dari apa yang aku
ambil daripadanya" (HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah).
4. Shalat sunnahlah dua rakaat bersama mempelai wanita.
Shalat sunnat malam pengantin ini sunnah hukumnya. Hal ini didasarkan kepada riwayat berikut ini:
Artinya: Dari Abu Said mantan budak Abu
Usaid berkata: "Saya menikah ketika masih menjadi hamba sahaya, lalu
saya mengundang sekelompok sahabat Rasulullah saw di antaranya ada Ibnu
Mas'ud dan Abu Dzar juga Hudzaifah. Abu Said berkata: "Lalu dibacakan
iqamat untuk shalat. Abu Dzar kemudian berangkat untuk maju ke depan,
para sahabat lainnya kemudian berkata: "Kamu juga ikut". Abu Said
berkata: "Apakah harus demikian?" Mereka menjawab: "Ya". Aku lalu maju
ke depan sedangkan saya saat itu masih seorang budak belian. Mereka
mengajariku dan mereka berkata: "Apabila kamu hendak menggauli isteri
kamu (baru pengantin), shalatlah terlebih dahulu dua rakaat, kemudian
berdoalah kepada Allah untuk kebaikan apa yang telah kamu gauli, juga
berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya dan kejahatan diri kamu
juga diri keluargamu" (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
5. Bersihkan mulut anda terlebih dahulu dan pakailah penyegar nafas atau wewangian untuk mulut anda sebelum anda menggaulinya.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya:
"Syuraih bin Hani berkata: " Saya pernah bertanya kepada Siti Aisyah,
dengan apa Rasulullah saw memulai sebelum beliau menggauli
isteri-isterinya?" Siti AIsyah berkata: "Dengan siwak (pembersih mulut
dan gigi)" (HR. Muslim).
6. Sebutlah nama Allah dan berdoalah dengan do'a Jima berikut ini sebelum anda menggaulinya.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang membaca doa berikut ini sebelum menggauli isterinya: "bismillah allahumma jannibnis syaithan wa jannibis syaithan ma razaqtana"
(Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syetan dari saya, dan
jauhkanlah ia dari apa yang akan Eukau rizkikan kepada kami (anak,
keturunan), kemudian dari hubungan tersebut ditakdirkan menghasilkan
seorang anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selamanya" (HR.
Bukhari Muslim).
Adab dan etika bersenggama dalam ajaran Islam
1. Disunnahkan mencumbunya terlebih dahulu (pemanasan) sebelum melakukan hubungan badan.
Hal
ini dimaksudkan agar kedua belah pihak sudah betul-betul siap untuk
melakukan hubungan badan sehingga kenikmatan yang akan dirasakannya
betul-betul maksimal. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya:
"Jabir bin Abdillah berkata: "Bapak saya baru saja meninggal dan
meninggalkan tujuh atau sembilan putri perempuan. Lalu saya menikah
dengan seorang janda. Rasulullah saw lalu bertanya kepada saya: "Apakah
kamu sudah menikah wahai Jabir?" Saya menjawab: "Ya, sudah ya
Rasulullah". Rasulullah saw bersabda kembali: "Apakah kamu menikahi
gadis atau janda?" Saya menjawab: "Janda". Rasulullah bersabda kembali:
"Mengapa kamu tidak menikahi gadis sehingga kamu dapat bercanda-canda
dengannya (bercumbu) dan dia pun dapat mencandai (mencumbui) kamu?" (HR.
Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan:
Artinya:
Rasulullah saw kemudian bertanya: "Apakah kamu wahai Jabir menikahi
janda atau gadis?" Jabir menjawab: " Janda". Rasulullah saw kemudian
bersabda kembali: "Mengapa bukan gadis dan air liurnya?" (HR. Bukhari).
Para ulama mengatakan bahwa yang dengan kata wa lu'abiha di
atas dimaksudkan sebagai isyarat untuk menghisap lidah dan mengisap air
liur pasangannya. Hal ini tentu dapat dilakukan dalam bercumbu /
pemanasan tersebut. Di samping itu, para ulama juga sepakat untuk
mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki telah mencapai kepuasan, maka
ia tidak boleh—maaf—segera "mencabutnya" sebelum pasangannya tersebut
juga betul-betul telah mencapai kenikmatan yang sama.
Bahkan,
dalam hadits yang lain, Rasulullah saw melarang ummatnya untuk melakukan
hubungan badan tanpa pemanasan dan bercumbu terlebih dahulu:
Artinya:
"Rasulullah saw bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian
menggauli isterinya sebagaimana hewan menggauli sesamanya. Hendaklah ia
mengadakan pemanasan (perantara) terlebih dahulu dengan jalan ciuman dan
kata-kata mesra" (HR. Turmudzi).
Perhatikan juga hadits berikut yang menerangkan bahwa Rasulullah saw pun mencumbunya terlebih dahulu:
Artinya: "Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw suka mencium isteri-isterinya" (HR. Thabrani)
Demikian juga dengan hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw menghisap lidah Siti Aisyah" (HR. Thabrany).
2. Mempelai laki-laki diperbolehkan menggauli isterinya dengan gaya dan model apa saja selama itu di dalam kemaluan (farj).
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Jabir
berkata: "Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata kepada orang-orang
muslim: "Barangsiapa yang menggauli isterinya dari arah belakang (tapi
tetap di qubul, kemaluan depan), maka anaknya akan juling". Allah lalu
menurunkan ayat berikut ini: "Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki (selama
itu di kemaluan depan)", Rasulullah saw kemudian bersabda: "(boleh kamu
gauli isteri kamu itu) baik dengan gaya dari arah depan maupun dari arah
belakang selama di dalam kemaluan, bukan di pantat" (HR. Bukhari
Muslim).
Sebagian penerjemah seringkali salah dalam menerjemahkan kata mudabbarah dalam hadits di atas. Penulis mendapatkan beberapa penerjemah Indonesia ketika menerjemahkan kata mudabbarah tersebut
dengan kata: "di dubur, pantat", sehingga orang-orang akan beranggapan
bahwa menyetubuhi isteri di pantat itu boleh. Hal ini jelas sangat
salah, karena kata mudabbarah dalam bahasa Arab berbeda dengan kata dubur. Mudabbarah lebih bersifat kepada gaya atau cara mendatangi yakni dari arah belakang namun tetap ke dalam kemaluan. Sedangkan kata dubur,
lebih bersifat ke tempat, yakni pantat. Oleh karena itu, hadits ini
merupakan salah satu dalil bahwamenyetubuhi isteri ke dubur, pantatnya,
adalah haram.
3. Seorang suami boleh menyetubuhi seluruh tubuh isterinya kecuali dubur, pantat.
Artinya:
"Ibnu Abbas berkata: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kelak
seorang laki-laki yang menyetubuhi binatang, atau menyetubuhi isterinya
di duburnya" (HR. Imam Nasai dengan sanad Hasan).
Artinya:
"Ibnu Mas'ud pernah ditanya seorang laki-laki: "Bukankah anda pernah
berkata, silahkan setubuhi isteri saya sekehendak saya, kapan saja dan
dengan gaya apa saja sekehendak saya?" Ibnu Masud menjawab: "Ya". Lalu
laki-laki itu menatap Ibnu Mas'ud sambil berkata: "Sesungguhnya
laki-laki itu mau menggaulinya di duburnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Dubur
wanita itu haram buat kalian" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Imam ad-Darimy
dengan sanad shahih).
Sehungungan dengan hal ini para
ulama mengatakan, bahwa yang dilarang itu adalah menyetubuhinya di dalam
dubur (memasukan kemaluan laki-laki ke dalam dubur wanita), sedangkan
mencumbui atau menyentu-nyentuhkan ke dubur isterinya, tanpa dimasukkan
ke dalamnya, menurut para ulama boleh-boleh saja. Apabila anda ditanya
seseorang, bukankah Allah dalam al-Qur'an mengatakan:
Artinya:
"Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki (al-Baqarah: 223).
Dalam ayat ini Allah menyuruh untuk menggauli isteri kita anna syi'tum,
bagaimana saja atau di mana saja yang dikehendaki, berarti kalau kita
menginginkan menggauli, maksudnya, maaf, memasukkan ke pantatnya,
boleh-boleh saja, karena termasuk dalam keumuman ayat di atas?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita lihat dari sisi Ushul Fiqh. Kata anna, dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan kata al-musykil yang
artinya satu kata yang maknanya tidak dapat diketahui dengan mudah
kecuali dibantu dengan keterangan lain atau dengan pengkajian yang
mendalam. Kata anna, dapat berarti "dari mana" (min aina), sebagaimana firman Allah berikut ini:
Artinya: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" (QS. Ali Imran: 37)
Dalam ayat ini, kata anna berarti "dari mana". Apabila kata anna dalam
surat al-Baqarah di atas diartikan dengan "dari mana", maka pemahaman
bahwa menggauli isteri dari duburnya sahsah saja. Hanya saja, apa
keterangannya sehingga kata anna dalam ayat 223 surat al-Baqarah di atas
diartikan dengan "dari mana"? Kini perhatikan makna lain dari kata anna. Dalam ayat berikut, anna juga berarti "bagaimana" (kaifa). Perhatikan ayat di bawah ini:
Artinya: "Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak" (QS. Ali Imran: 40).
Apabila
makna anna dalam surat al-Baqarah di atas berarti bagaimana, maka harus
dipahami bahwa kita boleh menggauli isteri kita bagaimana saja cara dan
gayanya selama di dalam farj (vagina). Persoalannya kini, makna mana
yang harus dipakai dalam mengartikan kata anna dalam suat
al-Baqarah ayat 223 di atas? Untuk melihat makna mana yang harus
dipakai, tentu harus melihat kepada keterangan lain terutama hadits
Nabi. Ternyata Rasulullah saw di antaranya pernah bersabda:
Artinya:
"Ibnu Abbas berkata: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kelak
seorang laki-laki yang menyetubuhi binatang, atau menyetubuhi isterinya
di duburnya" (HR. Imam Nasai dengan sanad Hasan).
Artinya:
"Ibnu Mas'ud pernah ditanya seorang laki-laki: "Bukankah anda pernah
berkata, silahkan setubuhi isteri saya sekehendak saya, kapan saja dan
dengan gaya apa saja sekehendak saya?" Ibnu Masud menjawab: "Ya". Lalu
laki-laki itu menatap Ibnu Mas'ud sambil berkata: "Sesungguhnya
laki-laki itu mau menggaulinya di duburnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Dubur
wanita itu haram buat kalian" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Imam ad-Darimy
dengan sanad shahih).
Keterangan inilah yang kemudian menjadi penjelas, bahwa kata anna dalam surat al- Baqarah tersebut harus diartikan dengan "bagaimana" (kaifa), bukan "dari mana" (min aina).
Karena kalau diartikan "dari mana", tentu dibolehkan menggauli isteri
di duburnya, sementara dalam hadits di atas jelas sangat dilarang. Kini,
makna anna dalam surat al-Baqarah harus diartikan dengan
"bagaimana" sehingga maknanya seorang suami dibolehkan menggauli
isterinya dengan gaya dan model apa saja, selama di dalam vaginanya,
bukan di dalam duburnya.
4. Tidak boleh menyetubuhi isterinya yang sedang haidh.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah berikut ini:
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri" (QS. Al-Baqarah: 222).
Menurut ahli kesehatan, darah
haidh itu apabila disemburkan atau disiramkan ke tanaman, maka tidak
berapa lama setelah itu, tanaman tersebut akan mati. Hal ini karena
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an di atas bahwa ia adalah darah
penyakit. Apabila ke tanaman saja membuatnya mati, apalagi kalau
mengenai kemaluan laki-laki. Lalu, bagaimana dan apa yang harus
dilakukan seandainya suami hendak melakukan hubungan badan sementara si
isterinya sedang haid?
Rasulullah saw dalam hal ini menerangkan
silahkan melakukan apa saja, bercumbu apa saja dan bagaimana saja selama
tidak melakukan hubungan badan. Perhatikan hadits berikut ini dimana
ketika ditanyakan kepada Rasulullah saw, apa yang harus dilakukan ketika
si isteri sedang haid, Rasulullah saw menjawab:
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Lakukan apa saja selain berhubungan badan" (HR. Muslim).
Artinya:
Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami
isteri-isterinya untuk memakai kain (sarungan), manakala kami sedang
haid. Lalu beliau mencumbui kami" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain:
Artinya:
"Rasulullah saw apabila beliau menghendaki sesuatu dari
isteri-isterinya yang sedang haid, beliau meletakkan kain di atas
kemaluan isteri-isterinya tersebut, lalu melakukan apa saja yang beliau
kehendaki" (HR. Baihaki).
5. Apabila si suami
orang yang sangat kuat dalam berhubungan badan sehingga ia ingin
mengulangi hubungan badannya yang kedua, ketiga atau seterusnya, maka
disunnahkan untuk berwudhu terlebih dahulu.
Artinya:
"Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang menggauli isterinya
kemudian ia hendak menambahnya untuk yang kedua kali, maka berwudhulah
terlebih dahulu" (HR. Muslim).
6. Seorang isteri tidak boleh menolak apabila suaminya meminta untuk berhubungan badan.
Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah
saw bersabda: "Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk melakukan
hubungan badan, lalu isterinya itu menolaknya, maka ia akan dilaknat
oleh para malaikat sehingga waktu pagi tiba" (HR. Bukhari Muslim).
7.
Apabila seorang suami merasa tertarik oleh wanita lain, maka segeralah
gauli isterinya, karena hal itu akan menghilangkan pikiran kotornya
terhadap wanita tersebut.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Dari
Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya wanita
itu baik ketika menghadap ataupun membelakangi dalam bentuk syaithan
(menggoda). Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang
menakjubkan dari wanita, maka segeralah datangi keluarganya, karena
dengan demikian dapat menolak apa yang sedang bergejolak di dalam
dirinya" (HR. Muslim).
8. Masing-masing suami atau isteri tidak boleh menceritakan rahasia-rahasia ketika berhubungan badan apabila dinilai tidak ada maslahahnya, tidak ada manfaatnya.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya:
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sejahat-jahat manusia di sisi
Allah kelak pada hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli
isterinya atau isteri yang menggauli suaminya kemudian ia menyebarkan
rahasia-rahasia hubungan badannya itu" (HR. Muslim).
Namun, apabila dinilai ada manfaat dan ada kemaslahatan misalnya ketika hendak
menerangkan
seputar itu, maka tidak mengapa sedikit menerangkannya. Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh isteri-isteri Rasulullah saw. Namun, apabila
yang diceritakan itu adalah aib, atau kelemahan suaminya atau tidak ada
manfaat sedikitpun, maka haram hukumnya.
9. Perhatikan kepuasan dan kenikmatan isteri / tidak boleh egois.
Dalam
ajaran Islam juga diatur bahwasannya seorang suami tidak boleh egois,
asal enak dan nikmat sendiri ketika berhubungan badan. Si suami juga
harus memperhatikan apakah si isteri sudah mencapai kenikmatan yang
maksimal ketika berhubungan badan atau tidak. Apabila si suami, maaf,
hendak orgasme dan mencapai kenikmatan puncak, sementara si isteri
belum, maka Rasulullah saw mengajarkan agar si suami bersabar dan
menahan orgasmenya sampai si isteri betul-betul merasakan kenikmatan
yang sama. Dalil larangan egoisme suami dalam "bercinta" ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Anas bin Malik berkata,
Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang suami menggauli isterinya,
maka jujurlah kepadanya (maksudnya, mungkin terus teranglah). Apabila si
suami akan segera mencapai kenikmatan (orgasme) sementara si isterinya
belum akan orgasme, maka si suami tidak boleh menyegerakan orgasmenya
(maksudnya tahanlah sebentar), sampai si isteri betul-betul merasakan
kenikmatannya (orgasme)" (HR. Abu Ya'la).
10. Suami diperbolehkan menggauli isterinya yang sedang menyusui (al-ghilah).
Dalam
istilah fiqih, wanita yang sedang menyusui bayinya baik bayi tersebut
sudah lahir maupun masih di dalam kandungan, disebut dengan al-ghilah.
Apabila isteri sedang hamil besar atau sedang menyusui bayinya yang
masih kecil, kemudian si suami sangat ingin menggauli isterinya
tersebut, maka hal itu boleh-boleh saja. Hal ini didasarkan kepada
keterangan berikut ini:
Artinya:
"Dari Siti Aisyah, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: ((Sungguh saya ingin sekali melarang suami menggauli isterinya
yang sedang menyusui. Hanya saja, saya teringat bahwa orang-orang Rum
dan Persia melakukan hal itu juga dan ternyata tidak menyebabkan madarat
kepada anak-anaknya" (HR. Muslim).
11. Makruh melakukan 'Azl (mengeluarkan air mani di luar vagina).
'Azl adalah
seorang suami mengeluarkan air maninya tidak di dalam kemaluan isteri
akan tetapi di luarnya. 'Azl biasanya dilakukan untuk menghindari agar
si isteri tidak hamil. Hal ini jelas dibenci dalam ajaran Islam, karena
dinilai sebagai upaya pembunuhan kecil; air mani yang boleh jadi akan
menjadi seorang anak, tapi karena ditumpahkan di luar vagina, akhirnya
tidak membuahkan anak. Dalam ajaran islam, seorang suami atau isteri
tidak boleh mencegah terjadinya kehamilan, semata-mata karena takut
tidak dapat memberikan makan, karena Allah yang akan memberikan
makannya. Oleh karena itu, sebaiknya praktek 'azl ini dihindari baik
oleh suami maupun isteri. Apabila hendak mengurangi terjadinya
kehamilan, maka sebaiknya dilakukan upaya alami berupa KB Kalender. Di
mana si suami hanya menggauli isterinya ketika tidak masa subur yakni
masamasa seminggu setelah wanita haid (masa subur bagi wanita adalah
seminggu setelah haid). Ini tentu lebih aman dan lebih halal dari pada
praktek 'azl di atas. Dalil makruhnya praktek 'azl ini adalah hadits
berikut ini:
Artinya:
"Rasulullah saw pernah ditanya tentang 'azl, beliau menjawab:
"Sesungguhnya 'azl itu adalah pembunuhan tersembunyi"Dan apabila
bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya" (QS. At.Takwir:
8)" (HR. Muslim).
Hadits di atas jelas sangat melarang praktek 'azl. Akan tetapi mengapa hukumnya hanya makruh (dibenci saja dan kalau pun dilakukan praktek 'azl ini tidak mengapa) dan bukan haram? Karena terdapat hadits-hadits lain yang membolehkan praktek 'azl ini. Oleh karena terdapat hadits lain yang membolehkan praktek 'azl ini, maka hokum 'azl menjadi makruh saja bukan haram. Hadits yang membolehkan dimaksud adalah sebagai berikut:
Artinya:
Dari Jabir, bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw: "Sesungguhnya saya mempunyai seorang budak perempuan, dan saya
biasa melakukan 'azl kepadanya". Rasulullah saw menjawab: "Sesungguhnya
hal itu tidak akan menghalangi sesuatu apapun yang telah dikehendaki
oleh Allah (maksudnya, dengan azl tidak akan menyebabkan tidak punya
anak, karena kalau Allah sudah menentukan dia harus mempunyai anak
dengan 'azl itu, tentu akan mempunyai anak juga)" (HR. Muslim).
Artinya:
Dalam riwayat lain dikatakan: "Lakukanlah 'azl sekehendak kamu, karena
ia tetap akan menyebabkan datangnya apa yang telah ditakdirkan oleh
Allah"
Artinya:
Jabir berkata: "Kami biasa melakukan 'azl pada masa Rasulullah saw,
sementara al-Qur'an tetap turun (dan tidak melarang kami satu ayat pun)"
(HR. Bukhari Muslim).
Bolehkan melihat aurat isteri atau suami dan menyentuh / memegangnya?
Persoalan melihat aurat isteri atau suami terutama aurat besar (farj atau dzakar, kemaluan
perempuan dan laki-laki) masih menjadi bahan perdebatan di antara para
ulama. Hal ini terjadi karena terdapat banyak hadits antara yang
membolehkan dan yang melarang. Untuk lebih jelas mengupas masalah ini,
marilah kita bahas dimulai dengan dalil-dalil yang melarang melihat
kemaluan pasangannya.
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Saya tidak pernah melihat sekalipun aurat Rasulullah saw" (HR. Thabrany).
Hadits
ini dinilai oleh Ibn Hajr al-Asqalany sebagai hadits Dhaif (lemah),
karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Barakah bin Muhammad
al-Halaby, bahwasannya ia seorang pembohong. Demikian juga dengan
rawi-rawi lainnya seperti Abu Shalih Bazim dan Muhammad bin al-Qasim al-
Asady bahwa keduanya tukang bohong.
Artinya:
"Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang laki-laki menggauli
isterinya, maka janganlah melihat kemaluannya, karena hal itu akan
menyebabkan buta (keturunannya)".
Hadits ini adalah hadits
Maudhu' (hadits dibuat-buat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn
al-Jauzi dan Abu Hatim ar-Razi. Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan
melihat kemaluan pasangan adalah:
Artinya: "Dari Utsman bin Madh'un ketika
mengadu kepada Rasulullah saw mengenai rasa malunya ketika melihat aurat
isterinya, Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana tidak, bukankah Allah
telah menjadikan isterimu itu sebagai pakaian dan kamu sebagai
pakaiannya juga?" Utsman menjawab: "Saya justru malu dengan hal itu".
Rasulullah saw menjawab: "Saya juga melakukannya dan mereka
isteri-isteri saya pun melakukannya juga".
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya dengan
Rasulullah saw mandi bersama dalam satu bejana. Beliau lalu mencandaiku
sehingga saya berkata kepadanya: "Lepaskan aku, lepaskan aku", dan
keduanya dalam keadaan junub" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits
inilah yang dijadikan hujjah oleh sementara ulama mengenai bolehnya
suami atau isteri melihat aurat besar pasangannya. Sulaiman bin Musa
pernah ditanya tentang hokum seorang suami melihat aurat pasangannya. Ia
menjawab: "Saya bertanya kepada Atha dan Atha bertanya kepada Siti
Aisyah, dan Siti Aisyah menyebutkan hadits ini (artinya boleh).
Bagaimana dengan hadits yang mengatakan bahwa seorang laki-laki tidak
boleh melihat aurat lakilaki lainnya demikian juga dengan wanita tidak
boleh melihat aurat wanita lainnya? Hal ini, hemat penulis, dapat
dijawab dengan mengatakan bahwa hal itu tidak termasuk untuk suami
isteri. Sedangkan untuk suami isteri diperbolehkan berdasarkan
hadits-hadits di atas. Mengakhiri pembahasan seputar ini, penulis akan
ketengahkan pendapat Ibn Urwah al-Hanbali dalam bukunya al-Kawakib
ad-Darary sebagaimana dikutip oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albany berikut ini:
Artinya: "Bagi masing-masing suami isteri
dibolehkan melihat seluruh badan pasangannya, termasuk dibolehkan juga
memegang dan menyentuhnya termasuk kemaluannya. Karena kemaluan ini
dihalalkan untuk digauli, maka tentu dilihat atau dipegang jauh lebih
dibolehkan sebagaimana dibolehkannya melihat dan menyentuh anggota badan
lainnya. Ini juga merupakan pendapatnya Imam Malik dan yang lainnya".
Penulis
juga sependapat untuk mengatakan bahwa suami isteri di samping boleh
melihat kemaluan dan aurat pasangannya, juga dibolehkan untuk menyentuh
atau memegangnya selama hal itu diperlukan atau dapat menambah
kenikmatan dalam berhubungan badan.
Bolehkah berhubungan badan sambil telanjang bulat?
Persoalan
kedua yang tidak kalah pentingnya dan sering kali menjadi bahan
perdebatan di kalangan masyarakat adalah, bolehkah suami isteri ketika
berhubungan badan telanjang bulat, tanpa busana? Dalam hal ini, juga
terjadi silang pendapat, antara yang membolehkan dengan yang tidak.
Untuk lebih memperjelas sebab persoalan, berikut ini penulis sodorkan di
antara hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok yang mentidakbolehkan
suami isteri berhubungan badan dengan telanjang bulat.
Artinya: Utbah bin Abd as-Silmi berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian menggauli isterinya, maka hendaklah memakai penghalang, dan janganlah ia telanjang bulat sebagaimana dua himar yang sedang berhubungan badan" (HR. Ibn Majah).
Hanya saja,
hadits ini Dhaif dan karenanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah,
sebagaimana yang diutarakan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albany.
Menurutnya, dalam hadits tersebut ada seorang rawi yang bernama
al-Ahwash bin Hakim dan dia itu orangnya dhaif, lemah. Demikian juga
dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama al-Walid bin al-Qasim
al-Hamdany yang dilemahkan oleh Ibn Mu'in dan yang lainnya. Oleh karena
itu, hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Ustadz Sayyid Sabiq
dalam hal ini juga berpendapat bahwa seorang suami isteri ketika
melakukan hubungan badan dilarang telanjang bulat. Di antara hadis yang
dikemukakannya selain hadits di atas, juga hadits berikut ini:
Artinya:
"Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw tidak pernah melihat
(kemaluan)saya, demikian juga saya tidak pernah melihat kemaluannya"
(HR. Ibn Majah).
Hanya saja, lagi-lagi hadits ini dhaif
sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Bushairy. Karena hadits tersebut
dhaif, maka tidak dapat dijadikan dalil. Penulis juga melihat,
dalil-dalil yang mengatakan tidak bolehnya suami isteri berhubungan
badan dengan telanjang, adalah dhaif dan tidak dapat dijadikan dalil.
Kini, beralih kepada kelompok yang mengatakan bahwa suami isteri boleh
mengadakan hubungan badan dengan kondisi telanjang bulat.
Artinya:
"Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki (al-Baqarah: 223).
Ayat ini secara tegas
mengatakan bahwa suami boleh menggauli isterinya dengan cara dan gaya
bagaimana saja selama di dalam farjinya. Tentu untuk dapat melakukan hal
demikian, umumnya dibutuhkan kondisi tidak berpakaian sama sekali.
Karena itu, telanjang bulat dalam berhubungan badan dibolehkan karena
termasuk keumuman dari ayat di atas. Dalil lain yang dikemukakan
kelompok ini adalah, hadits dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia
seringkali mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bijana. Hal ini,
menurut kelompok ini, lebih tegas mengatakan bahwa bertelanjang bulat
bagi suami isteri sangat dibolehkan. Dari kedua pendapat di atas,
penulis lebih cenderung untuk memahami, bahwa kelompok yang melarang
suami isteri telanjang bulat ketika melakukan hubungan badan, hanya
sebatas muru'ah saja. Artinya, hanya etika dan lebih bagusnya, bukan
sesuatu yang haram. Jadi mereka hendak mengatakan, kalau memungkinkan,
sebaiknya tidak telanjang bulat sama sekali. Tapi kalau tidak, ya
silahkan.
Untuk itu, penulis cenderung untuk mengatakan, bahwa
seorang suami isteri boleh-boleh saja telanjang bulat ketika berhubungan
badan karena hal ini jelas sudah halal bagi mereka, apabila hal
demikian dipandang perlu. Namun demikian, ketika keduanya melakukan
hubungan badan dengan telanjang bulat, sebaiknya ditutup dengan kain
atau selimut. Hal ini agar lebih menjaga boleh jadi "kenikmatan" dari
berhubungan badan, juga dari muru'ah, atau etikanya. Wallahu 'alam.
Sumber :
https://id-id.facebook.com/notes/panduan-pernikahan-dalam-islam